Siapa itu sahabat yang menggali parit pada saat Perang Khandaq?” tanya Presiden Soekarno sambil menoleh pada orang disampingnya, Saifuddin Zuhri, Menteri Agama RI. Pertanyaan itu refleks terlontar dari mulutnya. Sang Menteri yang juga pimpinan NU dengan sigap menjawab,”Salman.” Jawabannya bersambut sang Presiden, ”Nah itu, Masjid ini saya namakan Salman!”
Ada rasa haru di sana, di antara wajah-wajah Prof. TM Soelaiman, Achmad Noeman, Achmad Sadali, dan Ajat Sudrajat yang datang jauh-jauh dari Bandung. Ahad pagi itu, kalender menunjukkan tahun 1963. Dalam ruang istana, usai santap pagi seakan semua bermula. Ketika Masjid di hadapan kampus ITB menjadi lakon. Lakon yang kini berkisah tentang
Terdapat masa ketika seorang laki-laki yang minta izin untuk Jumatan di tengah perkuliahan dianggap ganjil. Terdapat masa ketika seorang laki-laki bersarung malah dibilang “Wah arab, nih.” Ada masanya celotehan “Eh kamu mau salat, titip salam ke Tuhan ya!” menjadi sesuatu yang lumrah.
Masa-masa itu dialami betul oleh mahasiswa-mahasiswa muslim Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 60-an. Budaya barat begitu kental di kalangan mahasiswanya. Aula Barat cukup sering dipakai oleh kegiatan berdansa-dansi. Bahkan, mahasiswa-mahasiswa muslim ITB yang masih “minat” untuk Salat Jumat pun harus bersusah payah berjalan kaki dari ITB untuk salat di Masjid Cihampelas.
Rektor ITB pada saat itu, Prof. Ir. O. Kosasih pun pada awalnya menolak rencana dibangunnya masjid di sekitar kompleks ITB. Alasannya: “Kalau orang Islam minta masjid, nanti orang komunis juga minta Lapangan Merah di ITB.”
Namun kepanitiaan yang terdiri dari Prof T.M. Soelaiman, Achmad Sadali, Imaduddin Abdulrachim, Mahmud Junus, dan lain-lain tidak lantas pasang sikap menyerah. Mereka menggalang dukungan kepada siapapun yang mereka anggap kompeten. Buah usaha mereka pun terwujud.
Seorang dosen Planologi beragama Kristen, Drs. Woworuntu pun menyatakan dukungannya. Bahkan Prof. Roemond, seorang Belanda yang menjadi ketua Jurusan Arsitektur pun mendukung.
Akhirnya setelah melobi kesana-kemari, presiden saat itu, Ir. Soekarno memberikan restu akan dibentuknya Masjid Salman ITB. Rektor ITB pun terdorong pula untuk mengizinkan. Walhasil, tepat pada 5 Mei 1972, Masjid Salman ITB untuk pertama kalinya dapat dipakai untuk Salat Jumat