Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr.K.H. Haedar Nashir mengisi kajian tarawih pada Minggu (09/04) di Masjid Salman ITB. Kajian ini membahas mengenai Islam Kesatuan dan Kemajuan Bangsa. Prof. Haedar mengungkapkan bahwa semangat Islam cocok dengan semangat kebangsaan, oleh karena itu umat muslim harus bersatu ditengah perbedaan, bersama-sama memajukan umat, bangsa dengan semangat keislaman serta perlu diimbangi juga antara semangat keislaman dengan semangat keilmuan.
Sebelum memulai kajiannya, Prof. Haidar menceritakan kehadirannya di Bandung mengingatkan ia pada masa kurang lebih 43 tahun yang lalu saat masih menjadi pelajar di Kota Bandung.
“Alhamdulillah bisa hadir memenuhi undangan dari keluarga besar YPM Salman. Ini mengingatkan saya 43 tahun atau lebih yang lalu ketika masih jadi pelajar di kota Bandung. Ada 4 titik tempat kegiatan di masjid, terutama masjid kampus. Kalau ada acara-acara Islam atau ceramah dari tokoh popular. Titik tersebut yaitu Masjid Salman, Masjid Istiqomah, Masjid ITT di Jalan Ahmad Yani dan Markas Muhammadiyah di Masjid Mujahidin,” ungkap Prof. Haedar.
Menurut Prof. Haedar, Islam merupakan agama yang kamilah. Islam mencakup seluruh dimensi kehidupan termasuk muamalah duniawiyah mengenai kesatuan dan persatuan. Hal ini terlihat dalam kisah Rasulullah Saw. yang mampu mempersatukan bangsa Arab pada masa jahiliyah.
“Dalam tempo sekitar 22 tahun, Nabi Muhammad Saw. mampu mempersatukan bangsa Arab yang berkabilah-kabilah dalam sistem yang jahiliyah. Beranjak menjadi sebuah bangsa baru atau umat baru yang disimbolkan dalam Al Madinah Al Munawaroh yakni bangsa yang berperadaban, cerah mencerahkan, tamadun yang peradaban itu dijiwai oleh agama,” tambah Prof. Haedar.
Secara sosiologis dan historis, kesatuan dan persatuan itu harus kita bangun dan ciptakan bersama serta tidak selamanya ideal. Kesatuan itu selalu berproses yang harus kita ciptakan terus menerus.
“Bagaimana umat Islam ingin merekatkan kesatuan di bangsa ini? Islam tentu secara nilai agama yang mempersatukan, sebagai implementasi dari Islam itu bisa tidak kita konstruksinya? Jangan punya idealisasi utopis. Menganggap bahwa persatuan itu sebagai entitas tunggal di tubuh umat Islam, karena itu berlawanan dalam sejarah. Allah memberikan rongga pada kita agar tidak berpikir dogmatis, selalu ada ruang dibalik kesatuan dan persatuan. Ada keragaman, keberagamaan yang penting kembali ke asas. Bertemu dalam prinsip keislaman. Bahkan dalam ibadahpun kan selalu ada ikhtilaf apalagi mencakup ijtihad,” ujar Prof. Haedar.
Kesatuan harus menjadi energi kolektif untuk kemajuan. Proses islamisasi harus berorientasi kedepan demi kemajuan umat Islam. Di satu abad Indonesia pada tahun 2045, sumbangsih umat Islam harus signifikan.
“Jadilah generasi yang mukminul kowi, pakailah waktu untuk hal produktif. Kita bangun kekuatan iman dan kepribadian. Ilmu pengetahuan dan teknologi kita dukung agar dimanfaatkan untuk kemajuan dan peradaban bangsa. Maka nanti berbeda kalau orang Islam yang memakmurkan atau mengelola bumi, yaitu ada pertanggungjawaban dan tidak merusak. Bahkan di Al Qosos ayatnya luar biasa, Allah memerintahkan olah dunia terkait akhirat. Jangan lari dari dunia tapi secukupnya dunia,” pesan Prof. Haedar sembari menutup kajian tarawih.