Seni Menerima Fase Kesedihan Dalam Kehidupan

Berduka bukan tentang menyembuhkan luka, tapi belajar hidup dengan sesuatu yang terasa asing yaitu kehilangan. Sebagian orang mencoba mengabaikannya, berharap luka itu hilang seiring waktu. Sebagian lagi merangkulnya, membiarkan diri tenggelam dalam kesedihan sebelum akhirnya belajar menerima.
Satu hal yang pasti, tidak ada cara yang ‘benar’ atau ‘salah’ dalam berduka.
Denial (Penolakan)
Proses awal setelah kehilangan orang yang kita cintai, yaitu fase mati rasa yang sering kali menyelimuti. Saat dunia berjalan seperti biasa, sementara hati kita berhenti di satu momen yang tak bisa diterima. Meski akal kita tahu bahwa mereka telah pergi, hati ini menolak untuk percaya bahwa sosok yang begitu berarti tidak akan pernah kembali.
Anger (Kemarahan)
Di tengah tumpukan emosi yang begitu berat untuk diproses, kemarahan sering kali muncul tanpa peringatan. Kita marah bukan hanya pada kehilangan itu sendiri, tetapi juga pada diri kita, pada situasi, bahkan pada dunia yang terus berjalan seolah tidak terjadi apa-apa.
Bargaining (Tawar-Menawar)
Perasaan “tawar-menawar” lahir dari rasa tidak berdaya, memberi kita ilusi kontrol atas hal-hal yang tak bisa kita ubah. "Seandainya aku bisa mengulang waktu..." "Seandainya aku lebih banyak meluangkan waktu..."
"Seandainya aku bisa menggantikan posisi mereka..." Seolah mencari celah untuk memperbaiki sesuatu yang sebenarnya sudah ditetapkan.
Depression (Depresi)
Fase depresi, dimana kita mulai menyadari realita bahwa apa yang terjadi itu benar adanya. Pada fase ini, kita cenderung menarik diri dan terjebak dalam pusaran kesedihan, merasa terpuruk, dan kehilangan semangat untuk menjalani hidup. Kesedihan dan kerinduan mendominasi pikiran kita saat depresi.
Acceptance (Penerimaan)
Di fase penerimaan, rasa sakit tidak sepenuhnya hilang, tetapi di sini kita belajar untuk menghadapi kenyataan dan menerima semua yang telah terjadi dengan berserah. Kita mulai memahami bahwa meski hidup tidak akan pernah sama lagi. Memilih melangkah maju dengan membawa mereka dalam doa dan kenangan yang tak akan pernah pudar.
Sahbata, bahkan Rasulullah ﷺ pun pernah mengalami fase-fase ini. Tahun saat Rasulullah ditinggal wafat oleh Khadijah, istrinya yang setia. Saat pamannya, Abu Thalib, yang selalu melindunginya, pergi selamanya. Tahun itu disebut sebagai 'Amul Huzni', tahun kesedihan bagi Rasulullah ﷺ.
Dari Rasulullah, kita belajar bahwa kesedihan adalah fitrah, tapi hidup harus terus berjalan, karena kehilangan bukan akhir segalanya,
Sumber: Grief.com | Almanhaj